Aksi demonstrasi para pelajar SMK yang mengusung tagar “STM Melawan” berakhir ricuh. Setidaknya hal itu terjadi di Jakarta, Rabu (25/9) dan Selasa (30/9) aksi yang berakhir tindak anarkhisme ricuh mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya isu dan kegelisahan yang mereka usung? Apakah aksi ini merupakan potret kegelisahan remaja pelajar atas RUU KUHP yang dianggap mengancam kebebasan individual? Ataukah kombinasi antara dampak propaganda media sosial dengan jiwa yang bergelora dan selalu ingin melawan norma, sekaligus jawaban atas kebutuhan pemenuhan identitas para remaja tanggung ini?
Aksi yang disiarkan secara live oleh beberapa stasiun Televisi ini, memang cukup mengejutkan. Karena merupakan aksi pertama yang dilakukan pelajar secara massif dan berlangsung rusuh, di tengah berbagai pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) yang kontroversial. Ada yang menduga dari anggapan aksi ini digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Ada juga yang memandang bersifat spartan dan spontan, sebagai bentuk solidaritas dari aksi mahasiswa di hari sebelumnya.
Badai krisis diri dan perlawanan subkultur
Pelajar SMK ini berada pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Suatu masa yang ditandai dengan pencarian identitas, badai psikologis yang muncul dalam bentuk sikap melawan berbagai norma sosial, sekaligus tuntutan pengakuan atas dirinya. Gelora emosi yang meluap luap berpadu dengan keinginan mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya bisa meledak menjadi tindakan tak terkendali. Aksi anarkhisme yang dilakukan pada pelajar adalah buktinya.
Mereka tidak perlu bersusah payah merumuskan aksi berdasarkan diskusi panjang tentang isu yang akan diangkat. Tindakan anakhis merupakan paduan dari tidak adanya panduan pertimbangan mendalam, pada saat yang sama emosi sedang meluap. Dorongan emosi dan ekspresi protes ini makin tak terkendali saat mereka berkumpul bersama. Pelajar berusia remaja dan pemuda, adalah suatu subkultur yang khas. Usia dimana perlawanan adalah bagian dari pencarian identitas. Apabila perlawanan remaja dan pemuda berkembang menjadi aksi kolektif, tentu hal ini akan memberi dampak luas terhadap kehidupan sosial secara menyeluruh
Situasi ini makin diperparah oleh tiga fakta penting: pertama, propaganda media sosial dan disinformasi media sosial yang sangat cepat, membuat rasa solidaritas mereka dengan cepat terbakar. Kebiasaan like and share sesuatu konten menarik atau mengundang emosi tertentu membuat ‘konsolidasi’ antar para pelajar tersebut berjalan cepat, hingga dalam hitungan jam mereka dapat berkumpul tanpa kejelasan struktur, penggerak dan penanggungjawab suatu aksi. Aksinya lebih tak terkoordinasi. Dalam jumlah massa besar, aksi yang tak terkoordinasi bisa dengan cepat berkembang menjadi gerakan anarkhi.
Kedua, tradisi literasi yang buruk mengakibatkan kegagalan menerima dan mengolah informasi secara baik. Tidak ada upaya melakukan tabayyun atau klarifikasi, apalagi keinginan untuk melakukan pendalaman atas berbagai dimensi terkait informasi yang diterima. Informasi penundaan pembahasan RUU KUHP, tidak dipedulikan. Massa lebih terpaku dengan meme dan narasi sepotong-potong RUU KUHP yang di tunda pembahasannya. Tidak ada keinginan kuat untuk mengkaji dokumen lengkap materi RUU kontroversial seperti RUU KUHP. Padahal dokumen ini saat ini menyebar dengan mudah di media sosial dan dapat diakses oleh publik secara terbuka.
Ketiga, sedikitnya program atau media penyaluran aspirasi (dan emosi) kaum pelajar remaja yang difasilitasi oleh sekolahnya yang dapat tersalur dengan baik. Sekolah jarang yang menginisiasi keterbukaan informasi serta aspirasi, dengan menggunakan media yang terbuka di dalam sekolah. Di sekolah dapat ciptakan suatu sesi yang khusus untuk mewadahi aspirasi menyangkut masalah-masalah internal sekolah, atau masalah kebangsaan yang lebih luas. Misalnya aktifitas menulis surat atau puisi untuk kepala sekolah, gubernur atau presiden untuk menyalurkan berbagai uneg-uneg mereka. Menyediakan dinding khusus untuk menyalurkan kegemaran remaja untuk corat-coret mengekspresikan kritik sosialnya dalam bentuk gambar atau hiasan lain. Atau pengenalan substansi dan teknis pembelajaran praktikum terkait bagaimana cara merespon berbagai isu sosial dan serta teknis menyalurkan pendapat di muka umum.
Tiga hal ini makin mematangkan situasi terjadinya situasi chaos sebagaimana yang terjadi pada Rabu (25/9) kemarin. Sebagian yang menduga keterlibatan dalam aksi tersebut semacam praktikum materi PPKN, berubah menjadi situasi mencemaskan. Aksi berubah cepat menjad semacam tawuran, aksi vandalisme dan aktivitas perlawanan kepada aparat. Kekhawatiran bahwa aksi ini menjadi model bagi remaja ditempat lain untuk mengekpreskan tentu akan berkembang. Belum lagi jika aksi ini menimbulkan trauma yang mendalam bagi para remaja, yang akan membentuk kepribadiannya dimasa depan. //mn
*Dosen Tetap Pascasarjana INSURI Ponorogo, mencermati berbagai teori dan gerakan perlawanan
(sumber foto: https://today.line.me/)