Zaman telah berganti. Tulisan yang diejawantahkan dalam bentuk teks nampaknya menjadi sumber penting dalam proses-proses sosial. Teks bahkan merepresentasikan sebuah tradisi sosial tertentu (well educated-class). Menulis bahkan menjadi bagian penting dari komunikasi sosial, sepenting kita memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti makan dan minum. Gambaran akan teks secara jernih dijelaskan oleh Roland Barthes, seorang penulis besar dari Perancis. Roland Barthes melihat bahwa teks itu sebuah kontruksi yang berlapis-lapis, seperti bawang, yang mengartikulasikan makna-makna yang bervariasi (kerap bertentangan), yang memberikan kemungkinan teks itu sendiri sebuah proses penguraian kritisi namun tidak pernah memberi kemungkinan sebuah inti kebenaran yang solid. (lihat; Cavallaro:2004)
Lebih jauh lagi, dalam bukunya Writing Degree Zero (1953), Barthes mengandaikan bahwa menulis sebuah teks itu tak pernah terikat dengan waktu, melainkan benar-benar selalu melegitimasi dan merepresentasikan ideologi-ideologi tertentu. Misalnya saja teks itu senantiasa terkait erat dengan dominasi berjuasi. Melalui teks itu ideologi borjuis membingkai realisme dalam sebuah klaim-klaim sosial, yang disebutnya dengan obyektivitas. Melalui klaim obyektivitas inilah teks hendak mengabarkan ”kebenaran-kebenaran”. Dan apa yang diandaikan dengan ”kebenaran-kebenaran” itu sangat terkait dengan kepentingan (interest politic).
Sebagai suatu gambaran empiris, Muhammad Arkoun seorang pemikir dan penulis Islam yang lahir di Aljazair menuliskan panjang lebar tentang apa yang dimaksudkan oleh Barthes diatas. Dalam bukunya Rethiking Islam Today dan kemudian diterjemahkan dalam seri Indonesia yang berjudul Islam Kontemporer (2001), Arkoun mampu membongkar sulubung politis dibalik penulis corpus resmi Agama Islam.
Bagi Arkoun, sejarah merupakan inkarnasi aktual dari wahyu sebagaimana ia diinterpretasikan oleh para ‘ulama dan disimpan dalam kenangan kolektif. Wahyu memelihara kemungkinan memberi sebuah legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan proses historis yang diterima oleh kelompok tertentu. Sepanjang tidak ada rasionalitas kritis yang menggantikan kemapanan berfikir lama, maka legitimasi ”transenden” itu akan terus terjaga. Kenyataan inilah yang agaknya hendak dipotret oleh Julia Kristeva melalui konsep semiotike-ideologeme. Ia menyatakan sebuah bentuk “tekstual” yang dihasilkan dalam arena budaya dan sejarah tertentu melalui epos, mitos, dan cerita rakyat (lihat Kristeva; 1974).
Kalau pada masa Kenabian, kenangan kolektif yang berupa cerita itu tersimpan dalam ingatan dan sumber oral Sang Nabi Muhammad sendiri, maka pasca Nabi Muhammad, apa yang disebut dengan “sumber transendensi” menjadi agak problematik. Khalifah Utsman dan generasi pemimpin Islam seterusnya mengatasinya dengan membuat mushaf. Melalui mushaf ini Utsman sebagai penguasa politik menyatakan sebagai corpus yang tertutup (official closed canon- istilah Arkoun) yang tidak boleh dikurangi, ditambahkan, dihapuskan, bahkan diintrepretasikan dengan cara yang berbeda dengan kemumuman waktu itu.
Pada titik ini jelas ada pergeseran penting dalam kebudayaan Islam, yakni dari tradisi oral menjadi teks. Jika telah melibatkan teks sebagai sebuah sumber, maka beberapa pemikir linguistik seperti Gadamer, bahkan Barthes sendiri memandang penting untuk menggunakan kajian linguistik dan semiotik. Melalui metode ini pula, penulis dan penafsir Mesir yang kini tinggal di Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan metode hermeneutik dalam menafsirkan Al Qur’an. Oleh Schleiermacher, hermeneutik itu dilihatnya sebagai seni penafsiran (lihat: Andrew Edgar and Peter Sedgwick;1999).
Arkoun sendiri melihat bahwa dengan digunakannya tradisi kitab (teks) akan semakin menguatkan peran kaum penulis. Dan tradisi tulis dalam teks (written-learned culture) itu adalah tradisi kaum terpelajar. Akibatnya, dominasi budaya kaum terpelajar terhadap budaya rakyat-lisan (oral-folk culture) menjadi tidak terelakan lagi. Dominasi ini akan semakin kokoh, ketika negara dan penguasa menjadi bagian penting dari relasi kelas sosial tersebut. Negara jelas akan membutuhan arsip resmi dan historiografi formal sebagai bahan regulasi, dan hal itu didapatnya dari tradisi tulis.
Studi yang dibuat oleh Arkoun memvisualisasikan bahwa berbagai buku dan teks yang dituliskan oleh intelektual muslim (klasik) tidak serta merta sebagai sebuah aktivitas kultural dan intelektual, tetapi juga untuk merespon tuntutan resmi negara maupun masyarakat sipil (tentu golongan sipil dalam tradisi tulis).
Bagi saya, politisasi tulisan itu akan kian komplek lagi adanya, ketika generasi penulis-penafsir sekunder (setelah corpus pokok) terlibat 'pertempuran' klaim dan makna dari sebuah penafsiran atas realitas yang berkembang pada masa sekarang atau dihari depan. Pemikir dan penulis Islam lainnya seperti Mohammad Said Al-Ashmawy membongkar maksud politik atas nama hukum Tuhan. Al Ashmawy mampu mencium aroma kekuasaan dibalik semangat dan getolnya kaum fundamentalis agar diterapkannya syariat Islam disebuah wilayah sosial tertentu.
Dalam tulisannya Against Islamic Extremism (1998), Al Ashmawy melihat hanya ada 80 aturan-aturan hukum dalam Al Qur’an, sisanya mengatur wilayah-permasalahan yang bersifat personal. Bagi Ashmawy, konsep syari’ah telah disalah artikan. Ashmawy melihat bahwa syari’ah itu bukan hukum Islam, tepatnya bukan hukum Tuhan, akan tetapi hasil dari penafsiran kaum terdidik (tekstualis) terhadap Al Qur’an.
Sehingga sangat tidak tepat ketika syari’ah tadi dijadikan dasar politik kenegaraan yang secara sosio kultural berkontur plural. Sebab syari’ah cenderung mengatasnamakan hukum Tuhan yang berakibat fatal bagi nilai-nilai Islam yang universal sifatnya. Lebih jauh Ashmawi melihat hal ini merupakan ancaman terhadap kemanusiaan dan perdamaian, dan merendahkan nilai-nilai Islam.
Tulisan diatas hanyalah sepenggal pengalaman kecil saja dari sejarah tektualitas dalam tradisi Islam. Melihat kenyataan ini, apa yang bisa dilakukan oleh para penulis? Bagi saya ada beberapa dimensi yang menjadi preferensi penting bagi penulis. Pertama, penulis harus meniatkan semangat kritis, sebab tanpa modal ini, sejatinya tekstualitas itu akan semakin memapankan hegemoni dan mengaburkan realitas yang memang ada. Ingatkah kita pesan Antonio Gramsci, bahwa hegemoni sebagian besar beroperasi lewat teks. Kedua, keberpihakan penulis menjadi pilihan yang tidak terelakkan. Sebab lewat tektualitas itulah, pikiran sang penulis akan diingat oleh sejarah. Pilihannya tergantung sang penulis, dia mau diingat sebagai pengekor kekuasaan atau penyambung suara dari budaya rakyat yang terpinggirkan.
*Penulis adalah Peneliti Budaya
Sumber gambar:https://geotimes.co.id/kolom/pendidikan/mengapa-menulis/